Radar Istana.Kulon Progo - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan P...
Radar Istana.Kulon Progo -
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (Ditjen PTPP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Penilaian dan Pengelolaan Dampak Sosial Pengadaan Tanah. Pembahasan dalam FGD ini difokuskan dengan tema “Strategi untuk Menjaga dan/atau Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kecil Pasca Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum”.
Dikatakan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) PTPP, Embun Sari, pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah bisa memberikan peluang pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Seperti halnya yang terjadi karena pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA). “Ada peluang usaha, kantor-kantor yang muncul karena efek pembangunan bandara ini, namun kita juga harus memperhatikan aspek lainnya bagi masyarakat dalam pembangunan ini,” tuturnya di lokasi FGD, yaitu Grand Dafam Signature International Airport Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I. Yogyakarta, pada Kamis (07/12/2023).
Adapun pembangunan Bandara YIA ini berlandaskan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Oleh karena itu, pengadaan tanah yang ada harus berasaskan keadilan, seperti ganti rugi yang layak kepada pemegang hak. Masyarakat yang menerima ganti rugi atas pengadaan tanah ini harus lebih sejahtera pasca pengadaan tanah,” ungkap Embun Sari.
Penasihat Utama Menteri ATR/Kepala BPN, Maria S.W. Sumardjono dalam diskusi yang berlangsung setuju bahwa memang dalam pengadaan tanah harus terdapat manfaat yang diperoleh. “Kita harus bisa mengukur manfaatnya bagaimana, kriteria itu juga bisa didapat dari keputusan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Menurutnya pengadaan tanah itu tak hanya soal ganti rugi, namun terdapat _replacement value_ atau nilai penggantian yang sesuai dengan dampak pengadaan tanah yang ditimbulkan. “Nilai ganti rugi atau seperti yang dikemukakan oleh Menteri Hadi ganti untung, itu harus lebih besar dari nilai ekonominya di lapangan. Karena, memang pengadaan tanah ini tak hanya soal aspek mengganti aset, namun aspek sosialnya juga,” imbuh Maria S.W. Sumardjono.
Hal senada diungkapkan oleh Senior Social Development Specialist dari Bank Dunia, Satoshi Ishihara. Ia menyebut, perlu dilakukan mitigasi serta mengelola dampak sosial yang ditimbulkan dari adanya pengadaan tanah. “Seperti contoh pengadaan tanah untuk kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di suatu kawasan hutan. Masyarakat yang mendiami suatu kawasan itu direlokasi dari kawasan mereka, tempat mereka hidup, tempat mencari makan, mencari obat-obatan, serta aspek-aspek lain yang terlupakan,” terangnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pengadaan tanah tak berkutat di ranah ekonomi semata, namun juga aspek sosial dan budaya. Ia merasa perlu ada kajian khusus serta koordinasi antara pemangku kepentingan. “Menteri-menteri terkait harus berkoordinasi soal ini. Lalu, jika ingin tahu bagaimana dampaknya, kita perlu bersinggungan langsung dengan orang-orang terdampak pengadaan tanah, sehingga kita mengerti apa dampak sosialnya dan mitigasinya,” imbau Satoshi Ishihara.
Turut hadir dalam FGD ini, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama dan Administrator di lingkungan Ditjen PTPP dan Kantor Wilayah BPN Provinsi D.I. Yogyakarta; perwakilan Bank Dunia; Kepala Desa Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo; dan perwakilan pihak yang berhak/masyarakat terdampak pengadaan tanah Bandara YIA.
(Zulham Daeng)
COMMENTS